12 Pelajaran dalam GITS 12 Tahun

cerita pengalaman founder it consultant digital agency software house

GITS genap berumur 12 tahun pada 13 September ini. Ini juga tandanya saya sudah 2 tahun lebih 1 bulan menjabat sebagai CEO. Ada banyak catatan, cerita, juga ibrah atau pelajaran yang bisa saya ambil selama 12 tahun ini. Terutama saat bagaimana GITS bertahan selama pandemi ini. Saya coba tuliskan dalam beberapa catatan di bawah ini:

It’s the People

Tiga tahun lalu kalau ditanya mana lebih utama karyawan atau klien? Jawaban saya adalah klien. Kok gitu? Sebuah bisnis tanpa customer, pembeli, klien bukanlah sebuah bisnis. Waktu awal berdiri, GITS adalah kumpulan programmer yang mengerjakan freelance project dari klien. Jadi, saya merasa wajar saja untuk lebih mengutamakan klien daripada karyawan. 

Tapi sekarang, salah satu yang paling saya syukuri di tahun ke-12 GITS.ID ini adalah memiliki karyawan-karyawan kompeten yang percaya dengan perusahaan ini. Mereka adalah penggerak yang membuat perusahaan kami terus maju. Karyawan yang baik akan selalu sebisa mungkin memberikan yang terbaik untuk perusahaan, klien-kliennya, dan user atau penggunanya.

Saya sering dibuat amazed dan surprised dengan apa yang telah karyawan kami achieve. Dari testimoni-testimoni yang kami terima dari klien dan user, tanggapannya sangat positif terhadap cara kerja dan kemampuan karyawan kami. Bahkan saat WFH seperti sekarang ini, ketika banyak founder curhat tentang susahnya ngatur karyawan kalau tidak di kantor, saya merasa beruntung sebagian besar karyawan di GITS.ID adalah orang amanah. Sehingga WFH pun tidak masalah. Tinggal kelancaran tanda tangan BAST dan invoice klien aja, nih. Ehem. Hehe.

Pastinya ada saja project yang tidak mulus, atau kelakuan karyawan yang tidak amanah bahkan toxic ke karyawan lain. Tapi, justru di situ banyak pelajaran yang saya dapat dalam memimpin. Gimana tantangan membuat sistem perusahaan yang bisa melindungi orang-orang terbaiknya. Juga mengasah kemampuan mereka dengan membuat lingkungan yang aman untuk saling memberikan feedback tanpa baper. Pemimpin harus siap juga menghadapi drama-drama karyawan dan tegas memberikan judgement. Dan…, ternyata kualitas judgement hingga kebijakan seorang pemimpin juga dipengaruhi oleh orang-orang di sekelilingnya. So surround yourself with the best people.

Jadi, kalau ditanya sekarang mana yang lebih penting? It’s the people!

Transparency 

Supaya bisa membuat keputusan yang baik dalam pekerjaannya, seorang karyawan perlu mengerti situasi dan konteks. Apa saja batasan dan asumsinya. Nah, sering dalam perusahaan, informasi terhadap situasi dan konteks ini tidak begitu jelas dikomunikasikan. Dalam beberapa hal malah bisa jadi cenderung ditutup-tutupi. Dan akhirnya, membuat karyawan malah jadi mengambil keputusan yang kurang tepat. 

Saya ambil contoh dalam membuat rencana pengembangan, seorang product owner bahkan developer perlu tahu tujuan serta batasan budget dan waktu yang dimiliki dalam suatu project. Jika konteks ini diinformasikan secara transparan, ketika ada request mendadak dari klien misalnya, tim bisa menentukan sikap yang lebih baik. Apakah bisa membantu request tersebut atau mengusulkan alternatif lain yang bisa tetap mencapai tujuan dalam constraint yang dimiliki.

Di sisi klien juga perlu mengetahui kondisi tim secara transparan. Issue apapun sedini mungkin diinformasikan. Mungkin timnya sakit, dipinjam project lain, ada yang nggak sengaja kehapus file dan harus rework, bisa jadi ada salah estimasi dan perlu replanning. Transparan bukan untuk jadi excuse untuk tidak perform, karena tetap tujuan klien harus bisa dikejar. Beberapa klien mungkin akan marah. Tapi, marah saat ada issue diinfokan lebih awal itu lebih baik dan bisa memberikan ruang untuk menyesuaikan untuk alternatif solusi lain. Daripada ditutup-tutupi lalu meledak di akhir karena tidak bisa beradaptasi terhadap kondisi dan membuat project-nya gagal total.

Dalam hal penentuan kebijakan perusahaan, transparansi juga penting. Terutama saat COVID-19 seperti sekarang. Komunikasi yang jujur terhadap kondisi dan pencapaian perusahaan baik itu di saat naik ataupun turun jadi penting banget. 

Di awal memang kebiasaan transparansi ini rasanya super tidak nyaman. Tapi justru transparansi ini membuat hati lebih tenang dan membangun kepercayaan satu sama lain.

Practice Your Values

Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di hutan juga hidup

Kalau kerja hanya sekedar kerja, kerbau di sawah juga kerja

Buya Hamka

Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lain? Adalah manusia memiliki akal dan nilai. Begitu juga bisnis. Revenue dan profit penting. Begitu juga prinsip atau nilai. Itu yang bisa jadi pembeda GITS dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Nilai yang kita pegang dan yang kita perjuangkan. 

Teorinya gitu. Real-nya, nerapin value tidak semudah itu, Ferguso. Harus ditulis, dibacakan berulang-ulang, dipraktekkan hingga dievaluasi terus menerus.

Tahun 2017, saya sempat ikut bantu organize acara Agile Conference. Di sana hadir para tech leader baik dari perusahaan kecil maupun besar. Salah satu speaker waktu itu sempat bertanya: “What is your company core values?” Kurang dari seperempat ruangan yang tahu tentang nilai perusahaannya mereka. Padahal saya yakin di beberapa perusahaan, terutama perusahaan besar di dinding-dindingnya ada saja tempelan tentang value tersebut. Ini bikin saya keselek. GITS sendiri sudah menuliskan beberapa value-nya sejak 2010. Tapi, cuma penghias di website dan company profile saja. Jangankan karyawan, founder-nya aja nggak hafal apa value-nya GITS.

GITS akhirnya coba mendefinisikan lagi tentang nilai ini. Beberapa perusahaan membuat singkatan supaya gampang dihafal. Kita juga coba ikuti dengan membuat singkatan nilai-nilai yang kami sebut “SIMPLE values”. Tapi bukan itu poinnya. Kita buat values itu untuk jadi guidance. Misal ketika mengambil keputusan, harus dikembalikan lagi ke nilai-nilai tersebut. Supaya jadi guidance dan bener-bener diingat, perlu dicontohkan bentuk-bentuk praktek dari value itu seperti apa. 

Nah, PR ini masih belum selesai. Mungkin lama buat benar-benar terinternalisasi, tapi harus terus dipraktekkan. 

Objectives & Key Results (OKR)

Pertengahan 2018, GITS coba adopsi OKR. Waktu itu saya dan Ibun minta ke tim untuk bikin rencana-rencana untuk improve pekerjaan dan proses per divisi. Rencananya bagus-bagus kalau dilihat. 

Pada awalnya, yang kejadian adalah OKR-nya terlalu banyak dan pusing untuk di-track. OKR-nya juga tidak selaras antara divisi yang satu dengan yang lain. Ada yang melaju jauh ngebut. Ada yang karena ada dependensi kerjaan, akhirnya OKR itu nggak tercapai.

Learning-nya? Ternyata saya miss bahwa OKR itu adalah tools untuk mencapai visi. Sebelum masing-masing tim membuat OKR, leader-nya atau sayanya harus set dulu targetnya seperti apa. Target jangka panjangnya misalnya 3-5 tahun gimana, baru OKR itu adalah potongan-potongan langkah bagaimana kita mencapai target jangka panjang itu

Kalau belajar algoritma, buat menyelesaikan suatu masalah kita perlu mem-breakdown masalah tersebut dan dipecahkan satu per satu. Satu periode OKR sama seperti partisi dari tantangan yang akan kita pecahkan. Bisa saja di periode Q1 misalnya OKR fokus di-traffic, lalu di Q2 OKR-nya fokus ke conversion. 

Jadi, set visinya dulu baru ngomongin OKR. Bukan sebaliknya. 

Discipline Tracking

Sering nggak, sih, kita sudah menetapkan sebuah target, strategi. Tapi setelah jalan beberapa minggu, bulan, tahun kemudian, kita tidak sedikit pun mendekati target itu. Persis kayak target diet. Di akhir tahun atau di akhir quarter kita lalu bertanya “Kita ngapain saja, sih?”.

Dulu banget di GITS.ID ada namanya “captain retro” bulanan. Setiap bulan, Account Executive, Product Owner, dan Tech Lead, ketemu selama seharian penuh untuk bahas isu yang terjadi. Tiap bulan itu juga ada inisiatif baru yang lahir dan disepakati. Sayangnya, inisiatif itu jarang di-track progress-nya, lalu apa efeknya terhadap isu yang terjadi. Seringnya menguap begitu saja. Dan akhirnya, strategi itu ya sekedar strategi saja tidak ada pencapaian tertentu.

Baru tahun lalu saya baca buku judulnya “Get A Grip” karangan Gino Wickman. Salah satu pesan dalam buku ini adalah ketika menyusun sebuah strategi haruslah dibuat mekanisme monitoring dan tracking yang baik dan regular. Semakin sering tracking dilakukan, semakin baik.

Akhirnya mulai awal 2020 ini kami coba kembangkan tracker untuk weekly OKR metric dan weekly todo. Simpel saja pakai Google Spreadsheet. Sudah sempat dicoba pakai bi-weekly, tapi kurang pas. So far dengan weekly ini, setiap minggu masing-masing tim jadi terus disiplin membuat progress, baik itu terhadap OKR-nya ataupun todo.

Kalau kita disiplin konsisten membuat progress dan improvement 2% saja per minggu, dalam setahun kita bisa mencapai target kita.

Let It Go!

Masih tentang pencapaian. Bertahun-tahun sampai bosan mentor bisnis saya ngingetin. “Yakin, deh, gue, ntar kalian pulang dari meeting ini, besok lupa karena udah balik lagi ke rutinitas yang kalian nggak mau kurangin,” begitu tukasnya. 

Ternyata kuncinya adalah karena saya sebagai founder nggak bisa let go beberapa kerjaan. Saya belum percaya sepenuhnya karyawan saya bisa menjalankan kerjaan itu. Khawatir hasilnya akan mengecewakan. Kalau begitu, biar bisa let it go cari yang kompeten atau asah biar kompeten dong, Bang! Baca poin 1: it’s about the people. 

Tapi sering juga karena saya yang takut meninggalkan zona nyaman. Ya zona tidak nyaman itu karena membiarkan karyawan mengerjakan apa yang biasa kita kerjakan dan kita pindah ke suatu hal atau target baru yang belum sama sekali kita ketahui. 

Zona tidak nyaman juga kejadian ketika harus memberikan feedback atau bahkan teguran yang tidak enak kepada tim. Tim mungkin saja bisa defensif menerima feedback dan menempatkan kita dalam obrolan yang nggak nyaman. Karenanya, perlu dibiasakan saling memberi dan menerima feedback ataupun kritik.

Conflict Can Push You Forward

Beberapa kali saya sempat berkonflik, adu argumen dengan salah satu leader atau karyawan di GITS. Ada 2-3 kali bahkan sampai terbawa emosi dan bikin suasana kantor, juga suasana rumah (karena WFH) nggak enak.

Nah, pelajarannya adalah sebisa mungkin saya saling mendengarkan dengan hati apa yang berusaha disampaikan. Benar-benar mendengarkan untuk mengerti, bukan untuk merespons. Ketika bisa mengerti, kita jadi tahu apa motivasinya, apa batasan dirinya, dan apa yang kurang dari kita dan bisnis kita.

Kilas balik, ada beberapa kebijakan dan SOP baru yang kemudian bisa membuat perusahaan ini mencapai titik yang lebih baik lagi. Dan, itu lahir dari konflik.

Can’t Stop Selling

Pernah kami dalam kondisi sales sangat kencang. Tim sales GITS berhasil mendapatkan klien baru dan project di saat tim kita sedang penuh-penuhnya. Sudah over untuk terima project baru. Untuk mengurangi stres operasional, saya akhirnya ngerem jualan

Ternyata itu adalah keputusan terburuk yang pernah saya ambil. Moral tim sales drop seketika. Akhirnya malah ketika tim developer dan operasional sudah ada ruang, sales kehilangan momentum dan lama ngangkat lagi. Butuh waktu 5-7 bulan sampai sales bisa efektif mendapatkan project baru lagi. 

Di tim developer dan operasional mungkin happy sebentar. Ketika project sudah mulai kosong, tantangannya jadi berkurang. Bisa lari ke project R&D tapi tantangannya juga beda. Kalau karyawan sudah merasa kurang dapat tantangan dari internal, bisa ditebak sendiri hasilnya seperti apa?

Scale is about Ability Not Size

Nyambung poin di atas, GITS lalu berkembang hingga ke 100-an karyawan. Tujuannya untuk bisa bantu lebih banyak klien. Banyak yang komentar atau tanya ke saya, “Wah perusahaannya gede ya, Mas. Karyawannya banyak. Hebat, deh. Ajarin, dong.”. Saya sering cuma bisa jawab hehehe saja.

Kalau kata Reid Hoffman “Scaling is not about growing, it’s about improving ability to handle growth”. Bukan size-nya yang utama, tapi bagaimana dari karyawan-karyawan yang bertambah bisa meningkatkan kemampuan untuk menangani growth itu sendiri

Kalau setiap penambahan karyawan, revenue per orangnya stagnan atau bahkan turun, artinya ada banyak yang harus diperbaiki. Buat bisa memperbaiki, lagi-lagi it’s about the people.

Finding the Right Client

Beberapa kali kejadian di GITS dapat project yang melelahkan jiwa dan raga. Mintanya macem-macem, tapi nggak mau di-charge lebih. Bayarnya nggak tentu kapan pula. 

Finding the right client ini sama kayak finding the right employee, atau mungkin the right partner. Nah iya, the right partner. Karena klien dan vendor relasinya harusnya partner. Bukan kayak harddisk, master and slave. Buat dapet “the right one” ada unsur instingnya, ada unsur coba-cobanya juga.

Selama 12 tahun GITS, kira-kira ada 3-4 kali kami akhirnya terminate klien. Well, biar fair saya juga share bahwa kami pernah mungkin 5-6 kali di-terminate klien. Ada beberapa faktor. Salah satu yang paling sering itu adalah perbedaan ekspektasi dalam project dan yang kedua adalah beda prinsip kerja. Faktor kompetensi kami di project juga pernah jadi masalah (makanya lihat lagi poin tentang people di atas).

Intinya adalah, jika kami tidak bisa memberikan value yang sesuai kepada klien kami, better kerja sama tersebut tidak diteruskan. Kemungkinan besar antara kami atau klien yang akan terminate duluan.

Insting buat dapetin the right client ini bisa diasah dari mulai ketika prospecting hingga deal contract. Apakah klien berisi orang-orang yang nyaman untuk kamu spend waktu bersamanya lama-lama atau nggak. Lihat lagi di atas, saking lamanya saya kerja bersama klien, beberapa klien juga rasanya sudah seperti kerabat sendiri. Dan klien yang seperti ini, bahkan ketika kita fail dan project-nya nggak dilanjut pun masih bisa jadi partner ngobrol yang enak. 

Kadang kita udah dapet insting bahwa seorang klien bukanlah partner yang tepat. Tapi ada juga kondisi di mana perlu ambil dulu, deh, buat dapur ngebul. Nah, ada yang bisa beneran bikin ngebul tapi ada juga yang bikin tekor. Jadi, mesti pinter-pinter milih juga. Nggak semua perusahaan cocok dengan satu vendor, begitu juga nggak semua vendor cocok dengan satu perusahaan.

Talk with Anyone

“It’s lonely at the top”

Begitu katanya. Jadi leader itu adalah pekerjaan yang kesepian. Sebagai pemimpin ada momen dimana saya bingung mau diskusi suatu topik yang sensitif. Terutama saat COVID-19 begini. Kalau cerita malah nanti bikin anak buah stres dan malah bikin pengen resign. Atau, bisa jadi nanti dianggap lemah oleh karyawan. 

Tapi yang jelas supaya tetap waras, saya butuh partner ngobrol. Bisa istri saya, atau leader-leader di GITS. Ada beberapa karyawan yang akhirnya open untuk saling share keluh kesah dan optimisme mereka, itu juga bisa jadi support system. Tidak lupa juga teman-teman komunitas sesama founder. Bahkan beberapa klien yang telah lama kerja sama juga bisa jadi partner ngobrol.

Awalnya, buat diskusi topik-topik sensitif ini ke mereka susah banget. Butuh keberanian cuma buat cerita. Termasuk ke istri saya. Pas mau cerita, langsung kering tenggorokan saking sensitifnya. 

Lalu saya kebetulan dengar podcast-nya Nouman Ali. Diceritakan ada momen Nabi Muhammad SAW sedang memikirkan tentang strategi (lupa strategi apa) setelah ditinggal oleh sebagian pasukannya dalam perang Uhud. Beliau awalnya bingung untuk cerita kepada siapa. Tapi kemudian Beliau akhirnya bercerita kepada salah satu sahabatnya (saya juga lupa dengan siapa). Merasa dipercaya oleh Nabi, dari diskusi tersebut lahir beberapa gagasan strategi baru yang lebih baik. 

Saya coba ikuti, deh, ini. Ada, sih, ketika akhirnya bisa cerita, orang yang kita ajak ngobrol ikutan stres. Ada juga karyawan yang jadinya resign. Tapi banyak juga yang melahirkan ide-ide baru yang bisa melegakan

Jadi cobalah untuk buat support system ini. Ngobrol dengan mereka supaya tetap waras. Dan, jangan lupa ada satu support system kita yang bisa diajak cerita 24 jam, lho. 

Be Healthy

Kerja itu butuh energi. Supaya kerjanya baik, energinya juga harus positif. Sering dalam tim, pemimpin harus menyerap duluan energi negatif yang ada di anak buah dan membuatnya menjadi positif lagi supaya bisa perform. 

Tiap minggu pasti ada saja isu tertentu untuk dipecahkan, ada komplain yang perlu direspons, ada konflik yang muncul. Beberapa kali ada saat saya selama seminggu tidur cuma 2-3 jam/hari. Makan pun ketinggalan. 

Guess what? Saya bisa saja forsir selesaikan kerjaan-kerjaan itu. Tapi dalam sebulan, ada saja saya harus ambil cuti 3-5 hari bedrest. Dan, kalau sudah sakit malah jadi nggak perform lagi. 

Tahun lalu saya coba olahraga tipis-tipis. Disarankan klien waktu itu. Olahraga 7 menit alias 7-minutes workout. Walaupun belum konsisten, tapi berasa frekuensi sakit saya perlahan berkurang. Mengurangi stres dan marah-marah juga. Badan lebih fit. Postur badan juga membaik. Aura kerja juga jadi lebih enak

***

Kira-kira itu 12 pelajaran yang saya rangkum selama 12 tahun perjalanan GITS. Semoga bisa diambil hikmahnya. Mudah-mudahan catatan ini bisa saya koreksi lagi beberapa waktu ke depannya. Karena artinya saya bisa belajar lebih banyak.

Kami dimulai dari kepercayaan bahwa aplikasi adalah alat untuk memudahkan manusia dalam pekerjaan dan organisasinya. Tujuan membuat aplikasi adalah supaya berkah. Supaya bisa memberikan manfaat dan kebaikan ke lebih banyak orang. Selama itu bisa diperjuangkan, saya berharap GITS bisa terus hidup juga. 100 tahun lagi. Semoga. Aamiin.


Ray Rizaldy adalah Co-founder dan CEO GITS.ID.

CONTACT US

Do you have a new project?

Come tell us what you need! Fill out this form and our solution team will response to your email by maximum of 1×24 workday.

Indonesia

Head Office

Summarecon Bandung, Jl. Magna Timur No.106, Bandung, 40294

Whatsapp (chat only)

0813-99-529-333

North America

Branch Office

166 Geary Str STE 1500 #1368, San Francisco, CA 94108, United States