Bagaimana strategi e-commerce dan retail FMCG menguatkan saat COVID-19?
Sudah sebulan ini istri saya kebingungan membeli kebutuhan keluarga sehari-hari. Ditambah lagi sekarang sudah masuk bulan Ramadan. Biasanya dia tinggal WhatsApp ke warung langganan untuk beli dan ambil barang. Tapi, warung itu sudah tutup berjualan sejak 2 minggu lalu. Begitu pun kios-kios di depan perumahan tempat kami tinggal.
Biasanya bisa saja saya ke supermarket. Sayangnya, meskipun sudah antre panjang, belum tentu juga semua barang yang dicari tersedia. Banyak rak kosong habis karena diborong pembeli yang panic buying. Istri saya sempat mencoba beberapa layanan belanja dan pengantaran online. Mulai dari aplikasi mobile e-commerce resmi dari retailer atau e-commerce besar hingga pedagang dadakan di aplikasi chat atau sosial media. Tapi, ongkos kirimnya masih tinggi. Sering juga kami temukan harga produknya jauh lebih mahal dari aslinya.
Table of Contents
ToggleParadoks Konsumen-Brand Sebagai Efek COVID-19 di FMCG
Di sisi lain, beberapa klien GITS Indonesia di industri FMCG dan retail dihadapkan juga dengan paradoks. Sektor retail terutama retail tradisional atau General Trading (GT) seperti warung terpaksa gagal bayar ke distributor karena daya beli masyarakat menurun, terutama sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, distributor juga harus menunggak kepada prinsipal. Efek domino ini juga berlangsung hingga ke pabrik produksi dan prinsipal pemegang brand. Semua perlu memutar otak bagaimana agar penjualan tetap berputar.
Efek domino ini diamini oleh Budiman Goh, COO Enesis Group. Saya berkesempatan mewawancarai beliau dalam Webinar GITS Expert Talk, membahas tentang strategi Direct to Consumer FMCG. Enesis Group sendiri adalah perusahaan FMCG prinsipal dari brand Antis, Soffel, dan Adem Sari.
Menurut Budiman, karena kondisi ekonomi yang makin terbatas, konsumen menjadi lebih pemilih. Terutama untuk produk-produk yang sifatnya sekunder atau gaya hidup. Konsumen akan mencoba alternatif produk yang lebih murah atau yang bisa memberikan nilai kesehatan yang lebih baik.
Wajar makin banyak kita melihat brand yang jadi hard selling dan mengaitkan produknya dengan kualitas kesehatan. Ini agar bisa lebih diterima konsumen. Lalu, supaya operasional produksi tidak berhenti, production plant juga bisa jadi dialihfungsikan produksinya ke produk-produk terkait yang bisa cepat diserap pasar. Contohnya brand kosmetik yang mengeluarkan produk hand sanitizer dan pabrik baju yang kini beralih jadi pabrik masker sebagai strategi e-commerce dan penjualan lainnya.
Strategi E-commerce dengan Digital yang Terintegrasi untuk Direct to Consumer
Brand juga perlu lebih meninjau kembali strategi dan kekuatan digitalnya.
“Brand yang bisa gain saat ini adalah mereka yang bisa mengintegrasikan bisnisnya secara digital,” lanjut Budiman.
Teknologi seperti aplikasi mobile dan strategi e-commerce bisa hadir sebagai kanal penjualan alternatif. Apalagi jika teknologi tersebut terintegrasi ke multiple production plant, logistik distribusi, hingga home delivery.
Hal ini krusial mengingat macetnya rantai distribusi di kanal General Trade. Perlu diingat, di Indonesia, kanal General Trade bisa menyumbang lebih dari 50% penjualan. Adapun untuk penjualan melalui online atau strategi e-commerce apps, rata-rata penjualan sektor consumer product baru berada di level 1-2% dari total penjualan.
Budiman memprediksi berbelanja melalui e-commerce apps akan menjadi kebiasaan baru. Kebiasaan ini bisa mendongkrak angka rata-rata penjualan dari aplikasi e-commerce hingga 5%.
Lalu, apakah cukup dengan menjual online saja? Beberapa pelaku brand yang pernah menjual melalui enabler dan aplikasi e-commerce, mengakui dalam webinar GITS Expert Talk ini bahwa banyak konsumennya ragu membeli karena ongkos kirim yang tinggi. Fenomena ini cukup absurd karena meskipun prinsipal memiliki jalur distribusi hingga ke pelosok, produk yang dijual secara online menggunakan jalur distribusi berbeda yang lebih terbatas dan tinggi ongkos kirimnya. Saat ini, bisa saja promo bebas ongkos kirim bisa menyubsidi hal tersebut. Tapi akan sampai kapan? Dan apa yang terjadi pada brand ketika promo tersebut berhenti?
Strategi E-commerce untuk Meningkatkan Penjualan
Bisa disimpulkan bahwa integrasi secara digital antara pabrik, distribusi, hingga home delivery menjadi vital. Perusahaan harus melihat kembali apakah strategi digitalnya dapat menjawab tantangan saat ini. Menarik untuk menyaksikan apakah gembar-gembor perusahaan tentang “digital transformation” dan “agility” berhasil diterapkan? Atau hanya berhenti di slogan dan training saja?
Yang jelas, baik pelaku digital dan pelaku retail-FMCG bisa bekerja sama dan saling menguatkan di era COVID ini. Menutup webinar, Budiman meyakinkan bahwa industri FMCG adalah yang terakhir terkena efek domino ini dan tentu itu menjadi keuntungan.
Strategi e-commerce untuk meningkatkan penjualan salah satunya dapat menggunakan customer loyalty program. Program loyalitas pelanggan ini dapat diterapkan di aplikasi mobile ataupun website e-commerce. Customer loyalty program sebagai cara meningkatkan penjualan bentuknya bisa beragam dan efektif untuk meningkatkan omset bisnis. Dan program ini menjadi salah satu strategi e-commerce.
“Justru ini saatnya kita berenang lawan arus seperti ikan salmon. Kita harus genjot sekuat tenaga dan gain marketshare lebih banyak,” katanya.
Bagaimana dengan perusahaan dan brand Anda? Sudah siap?
Tonton Webinar lengkapnya di sini.
Ray Rizaldy adalah Co-founder dan CEO GITS Indonesia.
Budiman Goh adalah COO Enesis Group (brand Antis, Sofell, Adem Sari.
Mulai Transformasi Digital Perusahaan Anda lewat Mobile App, Website, dan Cloud Sekarang
Get free e-commerce icon pack now!
You can use it for your mobile application e-commerce or your website e-commerce!
Download it for free by filling the form here: